Ariya terus menekan keyboard komputer di
hadapannya. Sesekali tangannya beralih pada mouse dan secangkir kopi di sebelah
komputer itu. Pandangannya tertuju pada monitor komputer di depannya.
”Masih belum selesai, Mas?” tanya Nayla
sembari merapikan kasurnya.
Ariya menoleh. “Iya, Nay. Tinggal menulis
materi terakhir saja” jawab Ariya. Matanya kembali fokus pada monitor.
Nayla yang penasaran datang mendekati
Ariya. Kedua tangannya merangkul bahu Ariya dari belakang. Dia mulai melirik
tulisan-tulisan yang ada di monitor. “Perjalanan menjemput jodoh?”.
Ariya tersenyum. “Iya, perjalanan
menjemput jodoh. Nggak apa-apa ‘kan Mas memberi sinopsis tentang pengalaman Mas menjemput jodoh?” ujar
Ariya sembari mengetik, lalu dia menoleh ke arah Nayla. Dilihatnya Nayla sedang
tersenyum. Wajahnya benar-benar terlihat
indah bak bulan di malam purnama.
“Subhanallah ...” gumam Ariya. “Bahkan
setelah satu tahun aku menikah dengannya, senyumnya masih seindah dulu, saat
pertama kali aku menemukannya” batinnya.
“Mas?.” Sapaan Nayla membuyarkan isi hati
Ariya. Ariya berpaling ke arah monitor.
Kepalanya sedikit menunduk, tak ingin Nayla melihat wajahnya yang tengah
memerah. Nayla melepaskan rangkulannya dan pergi menuju rak buku di sebelah
meja komputer.
Lamanya keheningan diantara mereka membuat
mereka salah tingkah. Ariya mulai tak konsen mengetik. Bingung tak mendapatkan
solusi, Ariya bangkit dan mendekati Nayla. Nayla menoleh ke wajah Ariya.
“Kenapa, mas?” tanya Nayla.
“Eumm. Anu ... mas mau minta tolong Nay untuk
ikut berpartisipasi dalam buku mas ini” pinta Ariya sambil mencari buku di rak
buku. Sebenarnya itu hanya alasan agar dia tidak menatap langsung wajah Nayla.
“Partisipasi?” ulang Nayla. Ariya menoleh
reflek. “Iya. Nanti mas menulis perjalanan versi mas, kemudian Nay menulis
versi Nay sendiri” ujar Ariya.
“Insyaallah, Nay bisa mas” jawab Nayla
diiringi seulas senyuman manis dari bibir mungilnya, senyuman yang sangat manis
di mata Ariya.
Melihat senyuman di bibir mungil Nayla, Ariya merasakan
keringat dingin menghampirinya. Ariya mulai mendekatkan wajahnya. Nayla
memalingkan tubuhnya, tak tau harus berbuat apa.
Nayla merasakan ada yang melingkar di tubuh rampingnya,
secara tidak sadar Nayla menahan nafas. Ariya menyandarkan wajahnya di pundak
kanan Nayla. Ariya pun mulai meresapi aroma khas sang istri.
Nayla masih terdiam, masih tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Dan detik berikutnya Nayla
sudah berhadapan dengan Ariya. Ariya menatap wajah Nayla yang mulai merona.
Gemas akan tingkah Nayla, secara tidak sadar Ariya mengangkat dagu Nayla sampai
Nayla menatap matanya. Didekatkan
wajahnya hingga bibir mereka saling bertemu. Nayecupnya bibir mungil Nayla
dengan lembut . kemudian beralih kekeningnya. Ariya tersenyum.
Sadar
bila dirinya sedang terbuai dengan ciptaan Allah dihadapannya, Ariya langsung memalingkan
badannya. Jantungnya berdebar-debar layaknya genderang yang ditabu cepat. Entah mengapa
Nayla pun merasakan hal yang sama.
Ariya
kembali duduk di depan komputernya. Dia berusaha untuk fokus pada monitor, tapi
senyuman manis Nayla tak mau pergi dari pikirannya.
“Mas,
Nayla bikinkan kopi lagi, ya. Atau mas mau yang lain?” tanya Nayla, mencoba
mencairkan suasana. Bisa dibilang, tawarannya tadi hanya alasan agar dia pergi
dan mencoba menetralkan keadaan hatinya.
“I, iya, Nay.
Jaza kumullahu khaira” respon Ariya tanpa menoleh. Matanya hanya menatap layar
monitor, tak ingin perasaannya semakin kacau saat menatap wajah Nayla.
Nayla
mengambil gelas kosong bekas kopi di sebelah komputer, lalu segera keluar kamar
menuju dapur. Dia mulai membuat kopi hangat untuk suaminya itu, memasukkan
bubuk kopi dan beberapa sendok gula kedalam gelas. Kemudian dimasukkannya air
panas dan seterusnya.
Di kamar,
Ariya hanya terdiam. Tidak mengetik, tidak juga membaca hasil ketikannya. Hanya
terdiam. Dia masih berusaha menghilangkan senyuman Nayla yang seakan-akan ada
dimana-mana, tapi tetap tidak bisa. Dipaksanya pikirannya untuk fokus pada layar
monitor.
Ariya
mulai membaca ulang hasil ketikannya itu. “Perjalanan menjemput jodoh ...”
gumam Ariya. Dia terus membaca sambil mengingat-ingat masa-masa itu, saat
pertama dia melihat Nayla.
Ketika
masih duduk dibangku SMA, Ariya sudah mentarget dirinya untuk menikah di usia
23 atau 24 tahun. Tapi, takdir berkata lain. Sampai di usia 24 tahun, Ariya
belum menemukan wanita yang akan dinikahinya.
Sebenarnya
banyak wanita yang mendekatinya. Siapa yang tak mau dinikahi oleh laki-laki
tampan, sholeh, dan ditambah lagi dia seorang motivator terkenal. Dini pun
ikut Nayerumuni oleh wanita-wanita yang
ingin menjadi istri kakaknya. Mbak Nia hanya bisa menggelengkan kepala melihat
kelakuan Ariya. Dia tak tahu apa yang dipikirkan Nay lelakinya itu.
Hingga
pada suatu hari, di depan gedung tempat siaran radio kampus, Ariya melihat
seorang perempuan yang mampu menggetarkan hatinya keluar dari gedung itu. Dia
tidak mengenali perempuan itu. Dilihatnya wanita itu, pakaiannya longgar dan
tertutup, kerudungnya besar hingga menutup dada dan pundaknya. Wajahnya
tertunduk berusaha menjaga pandangan matanya. Benar-benar terlihat seperti
wanita sholehah.
Ariya
mulai mencari tahu tentang identitas wanita itu. Ternyata, wanita itu bernama
Nayla, Nayla Fadillaturrohimah. Nama yang indah bagi Ariya. Kata teman-teman
Ariya yang juga pengurus tempat siaran itu, Nayla adalah orang yang ramah. Tapi
ada juga yang bilang dia itu judes, juga sulit bergaul. Mungkin itu karena dia
ingin menjaga dirinya.
Ariya semakin tertarik dengan Nayla yang ternyata
teman Mbak Nia dari suatu forum pengajian. Ariya juga mendapatkan beberapa
informasi tentang Nayla dari Mbak Nia.
Ariya
mulai menulis surat lamaran seperti CV untuk Nayla. Tapi bukan sembarang CV, CV
yang satu ini bertujuan agar Nayla bisa mengetahui bagaimana identitas Ariya
untuk mempertimbangkan jawaban lamarannya.
Mereka
pun melewati beberapa tahap. Mulai dari ta’aruf hingga pada akhirnya pada hari dimana mereka
mengucapkan saling janji suci. Mereka juga menyelenggarakan resepsi pernikahan
secara sederhana.
Ariya
tersenyum setelah selasai membaca tulisan-tulisan dimonitor itu. Tak disangka
akhirnya dia bisa menemukan jodohnya. Entah apa yang dipikirkannya dulu ketika
bertemu dengan Nayla. Yang dia tahu hanya Allah yang datang memberikan
pertolongan-Nya.
“Mas, ini
kopinya” ujar Nayla yang sudah ada disebelah Ariya. Dia meletakkan kopi itu
disebelah komputer.
“Iya, Nay”.
Ariya sambil tersenyum. Dilihatnya
dalam-dalam mata indah Nayla. Belum pernah sebelumnya selama setahun ini Ariya
menatap Nayla seperti ini.
“Nay, mas
boleh tanya sesuatu?” Ariya menunduk sebentar, kemudian kembali menatap Nayla
dengan seNayit ragu. “Apa yang Nay rasakan saat pertama kali melihat mas?”
Nayla
mengerutkan kening. Tapi sedetik kemudian dia merespon pertanyaan Ariya. “Nay
ketemu mas pertama kali saat kita ta'aruf. Waktu itu perasaan Nay bercampur
aduk” Nayla menunduk seNayit.
“Campur
aduk? Seperti nasi goreng saja ...” Ariya tertawa seNayit mendengar jawaban
Nayla.
“Jangan
diledek to, mas. Nay iki serius” ujar Nayla kesal. Wajahnya
memerah karena merasa kesal, keki, malu. Semua perasaannya benar-benar
bercampur aduk seperti yang Nayatakannya tadi.
Nayla
langsung bergegas ke kasur dan duduk dengan kasar. Terlihat sekali bahwa dia
tidak senang dengan jawaban Ariya tadi.
“Sudah dong.
Jangan marah. Mas tadi hanya bercanda. Mas minta maaf, deh” Ariya
berdiri mendekati Nayla dan duduk disebelah kiri Nayla. Dirangkulnya pundak
Nayla. Dielusnya dengan lembut pundak Nayla. Nayla hanya diam, tapi wajahnya
menghadap kekanan membelakangi Ariya.
“Sudahlah,
Nay. Mas ‘kan hanya bercanda. Jangan ngambek terus” bujuk Ariya.
Nayla
masih tidak merespon. Ariya tak kehabisan akal. Dia melirik keluar jendela yang
tepat berada sekitar satu setengah meter dihadapannya. Dilihatnya bulan purnama
dilangit bertabur bintang-bintang.
“Nay, coba
deh Nay lihat bulan itu” ujar Ariya sembari menunjuk bulan purnama di
langit malam yang indah. “Seharusnya bulan itu yang ngambek” ujar lembut
Ariya. Nayla menoleh dengan tatapan bingung. “Loh, apa hubungannya?”
tanya nayla bingung.
Sambil
tersenyum Ariya menjawab “Karena bulan itu iri akan kecantikan Nay yang
melebihi kecantikannya”
Nayla pun
tertunduk malu, dan tak bisa dipungkiri jika mulai muncul rona merah di
pipinya. “Mas ini loh, bisa aja deh ngerayu Nay” ujar Nayla sembari
memukul lembut pundak Ariya. Ariya pun hanya bisa pasrah dan tersenyum melihat
tingkah Nayla.
Kedua
insan tersebut, Saling merangkul sembari melihat keindahan bulan tersebut,
seakan-akan mengerti akan tingkah dua insan tersebut, bulan itu pun semakin
memancarkan cahayanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar