Jumat, 13 September 2013

Cerpen - Pejalanan Menjemput Jodoh


Ariya terus menekan keyboard komputer di hadapannya. Sesekali tangannya beralih pada mouse dan secangkir kopi di sebelah komputer itu. Pandangannya tertuju pada monitor komputer di depannya.
”Masih belum selesai, Mas?” tanya Nayla sembari merapikan kasurnya.
Ariya menoleh. “Iya, Nay. Tinggal menulis materi terakhir saja” jawab Ariya. Matanya kembali fokus pada monitor.
Nayla yang penasaran datang mendekati Ariya. Kedua tangannya merangkul bahu Ariya dari belakang. Dia mulai melirik tulisan-tulisan yang ada di monitor. “Perjalanan menjemput jodoh?”.
Ariya tersenyum. “Iya, perjalanan menjemput jodoh. Nggak apa-apa ‘kan Mas memberi sinopsis  tentang pengalaman Mas menjemput jodoh?” ujar Ariya sembari mengetik, lalu dia menoleh ke arah Nayla. Dilihatnya Nayla sedang tersenyum. Wajahnya benar-benar terlihat  indah bak bulan di malam purnama.
“Subhanallah ...” gumam Ariya. “Bahkan setelah satu tahun aku menikah dengannya, senyumnya masih seindah dulu, saat pertama kali aku menemukannya” batinnya.
“Mas?.” Sapaan Nayla membuyarkan isi hati Ariya. Ariya berpaling ke arah monitor. Kepalanya sedikit menunduk, tak ingin Nayla melihat wajahnya yang tengah memerah. Nayla melepaskan rangkulannya dan pergi menuju rak buku di sebelah meja komputer.
Lamanya keheningan diantara mereka membuat mereka salah tingkah. Ariya mulai tak konsen mengetik. Bingung tak mendapatkan solusi, Ariya bangkit dan mendekati Nayla. Nayla menoleh ke wajah Ariya.
“Kenapa, mas?” tanya Nayla.
“Eumm. Anu ... mas mau minta tolong Nay untuk ikut berpartisipasi dalam buku mas ini” pinta Ariya sambil mencari buku di rak buku. Sebenarnya itu hanya alasan agar dia tidak menatap langsung wajah Nayla.
“Partisipasi?” ulang Nayla. Ariya menoleh reflek. “Iya. Nanti mas menulis perjalanan versi mas, kemudian Nay menulis versi Nay sendiri” ujar Ariya.
“Insyaallah, Nay bisa mas” jawab Nayla diiringi seulas senyuman manis dari bibir mungilnya, senyuman yang sangat manis di mata Ariya.
Melihat senyuman di bibir mungil Nayla, Ariya merasakan keringat dingin menghampirinya. Ariya mulai mendekatkan wajahnya. Nayla memalingkan tubuhnya, tak tau harus berbuat apa.
Nayla merasakan ada yang melingkar di tubuh rampingnya, secara tidak sadar Nayla menahan nafas. Ariya menyandarkan wajahnya di pundak kanan Nayla. Ariya pun mulai meresapi aroma khas sang istri.
Nayla masih terdiam, masih tak tahu apa yang harus dilakukannya.  Dan detik berikutnya Nayla sudah berhadapan dengan Ariya. Ariya menatap wajah Nayla yang mulai merona. Gemas akan tingkah Nayla, secara tidak sadar Ariya mengangkat dagu Nayla sampai Nayla menatap matanya. Didekatkan wajahnya hingga bibir mereka saling bertemu. Nayecupnya bibir mungil Nayla dengan lembut . kemudian beralih kekeningnya. Ariya tersenyum.
Sadar bila dirinya sedang terbuai dengan ciptaan Allah dihadapannya, Ariya langsung memalingkan badannya. Jantungnya berdebar-debar layaknya genderang yang ditabu cepat. Entah mengapa Nayla pun merasakan hal yang sama.
Ariya kembali duduk di depan komputernya. Dia berusaha untuk fokus pada monitor, tapi senyuman manis Nayla tak mau pergi dari pikirannya.
“Mas, Nayla bikinkan kopi lagi, ya. Atau mas mau yang lain?” tanya Nayla, mencoba mencairkan suasana. Bisa dibilang, tawarannya tadi hanya alasan agar dia pergi dan mencoba menetralkan keadaan hatinya.
“I, iya, Nay. Jaza kumullahu khaira” respon Ariya tanpa menoleh. Matanya hanya menatap layar monitor, tak ingin perasaannya semakin kacau saat menatap wajah Nayla.
Nayla mengambil gelas kosong bekas kopi di sebelah komputer, lalu segera keluar kamar menuju dapur. Dia mulai membuat kopi hangat untuk suaminya itu, memasukkan bubuk kopi dan beberapa sendok gula kedalam gelas. Kemudian dimasukkannya air panas dan seterusnya.
Di kamar, Ariya hanya terdiam. Tidak mengetik, tidak juga membaca hasil ketikannya. Hanya terdiam. Dia masih berusaha menghilangkan senyuman Nayla yang seakan-akan ada dimana-mana, tapi tetap tidak bisa. Dipaksanya pikirannya untuk fokus pada layar monitor.
Ariya mulai membaca ulang hasil ketikannya itu. “Perjalanan menjemput jodoh ...” gumam Ariya. Dia terus membaca sambil mengingat-ingat masa-masa itu, saat pertama dia melihat Nayla.
Ketika masih duduk dibangku SMA, Ariya sudah mentarget dirinya untuk menikah di usia 23 atau 24 tahun. Tapi, takdir berkata lain. Sampai di usia 24 tahun, Ariya belum menemukan wanita yang akan dinikahinya.
Sebenarnya banyak wanita yang mendekatinya. Siapa yang tak mau dinikahi oleh laki-laki tampan, sholeh, dan ditambah lagi dia seorang motivator terkenal. Dini pun ikut  Nayerumuni oleh wanita-wanita yang ingin menjadi istri kakaknya. Mbak Nia hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Ariya. Dia tak tahu apa yang dipikirkan Nay lelakinya itu.
Hingga pada suatu hari, di depan gedung tempat siaran radio kampus, Ariya melihat seorang perempuan yang mampu menggetarkan hatinya keluar dari gedung itu. Dia tidak mengenali perempuan itu. Dilihatnya wanita itu, pakaiannya longgar dan tertutup, kerudungnya besar hingga menutup dada dan pundaknya. Wajahnya tertunduk berusaha menjaga pandangan matanya. Benar-benar terlihat seperti wanita sholehah.
Ariya mulai mencari tahu tentang identitas wanita itu. Ternyata, wanita itu bernama Nayla, Nayla Fadillaturrohimah. Nama yang indah bagi Ariya. Kata teman-teman Ariya yang juga pengurus tempat siaran itu, Nayla adalah orang yang ramah. Tapi ada juga yang bilang dia itu judes, juga sulit bergaul. Mungkin itu karena dia ingin menjaga dirinya.
Ariya  semakin tertarik dengan Nayla yang ternyata teman Mbak Nia dari suatu forum pengajian. Ariya juga mendapatkan beberapa informasi tentang Nayla dari Mbak Nia.
Ariya mulai menulis surat lamaran seperti CV untuk Nayla. Tapi bukan sembarang CV, CV yang satu ini bertujuan agar Nayla bisa mengetahui bagaimana identitas Ariya untuk mempertimbangkan jawaban lamarannya.
Mereka pun melewati beberapa tahap. Mulai dari ta’aruf hingga  pada akhirnya pada hari dimana mereka mengucapkan saling janji suci. Mereka juga menyelenggarakan resepsi pernikahan secara sederhana.
Ariya tersenyum setelah selasai membaca tulisan-tulisan dimonitor itu. Tak disangka akhirnya dia bisa menemukan jodohnya. Entah apa yang dipikirkannya dulu ketika bertemu dengan Nayla. Yang dia tahu hanya Allah yang datang memberikan pertolongan-Nya.
“Mas, ini kopinya” ujar Nayla yang sudah ada disebelah Ariya. Dia meletakkan kopi itu disebelah komputer.
“Iya, Nay”. Ariya sambil tersenyum.  Dilihatnya dalam-dalam mata indah Nayla. Belum pernah sebelumnya selama setahun ini Ariya menatap Nayla seperti ini.
“Nay, mas boleh tanya sesuatu?” Ariya menunduk sebentar, kemudian kembali menatap Nayla dengan seNayit ragu. “Apa yang Nay rasakan saat pertama kali melihat mas?”
Nayla mengerutkan kening. Tapi sedetik kemudian dia merespon pertanyaan Ariya. “Nay ketemu mas pertama kali saat kita ta'aruf. Waktu itu perasaan Nay bercampur aduk” Nayla menunduk seNayit.
“Campur aduk? Seperti nasi goreng saja ...” Ariya tertawa seNayit mendengar jawaban Nayla.
“Jangan diledek to, mas. Nay iki serius” ujar Nayla kesal. Wajahnya memerah karena merasa kesal, keki, malu. Semua perasaannya benar-benar bercampur aduk seperti yang Nayatakannya tadi.
Nayla langsung bergegas ke kasur dan duduk dengan kasar. Terlihat sekali bahwa dia tidak senang dengan jawaban Ariya tadi.
“Sudah dong. Jangan marah. Mas tadi hanya bercanda. Mas minta maaf, deh” Ariya berdiri mendekati Nayla dan duduk disebelah kiri Nayla. Dirangkulnya pundak Nayla. Dielusnya dengan lembut pundak Nayla. Nayla hanya diam, tapi wajahnya menghadap kekanan membelakangi Ariya.
“Sudahlah, Nay. Mas ‘kan hanya bercanda. Jangan ngambek terus” bujuk Ariya.
Nayla masih tidak merespon. Ariya tak kehabisan akal. Dia melirik keluar jendela yang tepat berada sekitar satu setengah meter dihadapannya. Dilihatnya bulan purnama dilangit bertabur bintang-bintang.
“Nay, coba deh Nay lihat bulan itu” ujar Ariya sembari menunjuk bulan purnama di langit malam yang indah. “Seharusnya bulan itu yang ngambek” ujar lembut Ariya. Nayla menoleh dengan tatapan bingung. “Loh, apa hubungannya?” tanya nayla bingung.
Sambil tersenyum Ariya menjawab “Karena bulan itu iri akan kecantikan Nay yang melebihi kecantikannya”
Nayla pun tertunduk malu, dan tak bisa dipungkiri jika mulai muncul rona merah di pipinya. “Mas ini loh, bisa aja deh ngerayu Nay” ujar Nayla sembari memukul lembut pundak Ariya. Ariya pun hanya bisa pasrah dan tersenyum melihat tingkah Nayla.
Kedua insan tersebut, Saling merangkul sembari melihat keindahan bulan tersebut, seakan-akan mengerti akan tingkah dua insan tersebut, bulan itu pun semakin memancarkan cahayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar